tugas etika bisnis uas 2012

TUGAS ETIKA BISNIS UAS




BAB 5
Keuntungan Sebagai Tujuan Perusahaan

Kuntungan termasuk definisi bisnis. Sebab, apa itu bisnis? Frngan cara sederhana atapi cuup jelas, bisnis sering dilakukan sebagai “to provide product or sevices for profit”. Tidak bisa dikatakan juga bahwa setiap kegiatan ekonomis menghasilkan keuntungan. Keuntungan atau profit baru muncul dengan kegiatan ekonomi yang memakai sistem keuntungan. Profit selalu berkaitan dengan kegiatan ekonomi, dimana kedua belah pihak menggunakan uang.
Karena hubungan dengan uang itu, perolehan profit secara khusus berlangsung dalam konteks kapitalisme. Keterkeikatan dengan keuntungan itu merupakan suatu alas an khusus mengapa bisnis selalu ekstra rawan dari sudut pandang etika. Tentu saja, organisasi yang non for profit pun pasti sewakt waktu berurusan dengan etika.
1.             Maksimalisasi keuntungan sebagai cita-cita kapitalisme liberal
Profit maximimization atau maksimalisasi keuntungan merupakan tema penting dalam ilmu manajemen ekonomi. Kalau memaksimalkan keuntungan menjadi satu-satunya tujuan perusahaan, dengan sendirinya akan timbul keadaan yang tidak etis. Jika keuntungan menjadi satu-satunya tujuan itu, semua karyawan dikerahkan dan dimanfatkan demi tercapainya tujuan itu, termasuk juga karyawan yang bekerja dalam perusahaan. Akan tetapi memperalat karyawan karena alasan apa saja berarti tidak menghormati mereka sebagai manusia. Studi sejarah menunjukan bahwa maksimalisasi keuntungan sebagai tujuan usaha ekonomi memang bisa membawa akibat kurang etis.

2.             Masalah pekerja anak
Tidak perlu diragukan, pekerja yang dilakukan oleh anak (child labor) merupakan topic dengan banyak implikasi etis, tetai masalah ini sekaligus juga sangat kompleks, karena faktor-faktor ekonomis di sini dengan dengan aneka macam cara bercampur baur dengan faktor-faktor budaya dan social.
Dalam Convention on the Right of the Child yang diterima dalam siding umum PBB pada 1989 siserahkan pada masing-masing Negara anggota untuk”menetapkan usia minimum atau usia rata-rata minimum untuk dapat memasuki lapangan kerja” [Pasal 32,2(a)].
Yang dianggap pekerjaan yang dilakukan anak dianggap tidak etis karena pertama, adalah pekerjaan itu melanggar hak para anak. Anak itu belum dewasa karena itu harus diperlakukan begitu pula. Karena belum dewasa, seorang anak juga belum bebas atau sanggup menjalankan kebebasannya. Lagipula, anak yang bekerja tidak mendapat pendidikan di sekolah dan karena itu mereka dirugikan untuk seumur hidup. Oleh sebab itu pekerjaan yang dilakukan oleh anak melangar juga hak anak, karena mengekploitasi tenaga mereka.
Alasan kedua menegaskan bahwa memperkejakan anak merupakan cara berbisnis yang tidak fair. Sebab, dengan cara  itu pebisnis berusaha menekan biaya produksi dan dengan melibatkan diri dalam kompetisi kurang fair terhadap rekan-rekan pebisnis yang tidak mau menggunakan tenaga anak, karena menganggap hal itu cara berproduksi yang tidak etis.
Bagaimana cara kita mengatasi masalah tersebut? Yang pertama: kesadaran dan aksi dari pihak public konsumen. kedua adalah kode etik yang dibuat dan ditegakkan juga oleh perusahaan dimana antara lain ditegaskan bahwa perusahaan tidak akan mengijinkan produknya dibuat dengan memanfaatkan tenaga anak di bawah umur. Yang ketiha melengkapi garmen atau produk lain dengan No Sweat Label, yang menjamin produk itu tidak dibuat dengan menggunakan tenaga anaka atau dengan kondisi kerja yang tidak pantas.

3.             Relativasi keuntungan
Tidak bisa disangkal, pertimbangan etis mau tidak mau membatasi peranan keuntungan dalam bisnis. Seandainya keuntungan merupakan faktor satu-satunya yang menentukan sukses dalam bisnis, perdagangan heroin, kokain, atau obat terlarang lainnya harus dianggap sebagai good business, karena sempat membawa untung yang sangat banyak. Bisnis menjadi tidak etis, kalau perolehan untung dimutlakkan dan segi moral dikesampingkan. Di satu pihak perlu diakui, bisnis tanpa tujuan profit bukan bisnis lagi.
Dengan demikian dan banyak cara lain lagi dapat dijelaskan relativitas keuntungan dalam usaha bisnis. Tetapi, bagaimanapun juga, keuntungan dalam bisnis tetap perlu. Hanya tidak bisa dikatakan lagi bahwa maksimalisasi keuntungan merupakan tujuan bisnis atau profit merupakan satu-satunya tujuan bagi bisnis. Beberapa cara lain lagi untuk melukiskan relativitas keuntungan dalam bisnis, sambil tidak mengabaikan perlunya adalah sebagai berikut :
a.       Keuntungan merupak tolak ukur untuk menilai kesehatan perusahaan atau efisiensi manajemen dalam perusahaan;
b.      Keuntungan adalah pertanda yang menunjukaan bahwa produk atau jasanya dihargai oleh masyarakat;
c.       Keuntungan dalah cambuk untuk meningkatkan usaha;
d.      Keuntungan merupakan syarat kelangsungan perusahaan;
e.       Keuntungan mengimbangi risiki dalam perusahaan.

4.             Manfaat bagi stakeholder
Yang dimaksud stakeholders adalah orang atau instansi yang berkepentingan dengan suatu bisnis atau perusahaan. Dalam bahasa Indonesia kini sering dipakai terjemahan “pihak yang berkepentingan” Stakeholder adalah semua pihak yang berkepntingan yang berkepentingan dengan kegiatan suatu perusahaan. Stockholder tentu termasuk Stockholders.
Kadang-kadang stakeholders dbagi lagi atas pihak berkepentingan internal dan eksternal. Pihak berkepentingan internal adalah “orang dalam” dari suatu perusahaan: orang atau instansi yang secara langsung terlibat dalam kegiatan perusahaan, seperti pemegang saham, manajer, dan karyawan. Pihak berkepentingan eksternal adalah “orang luar” dari suatu perusahaan: orang yang tidak secara langsung terlibat dalam kegiatan perusahaan, seperti para konsumen, masyarakat, pemerintah lingkungan hidup.
Paham stakeholders ini membuka perspektif baru untuk mendekati masalah tujuan perusahaan. Kita bisa mengatakan bahwa tujuan perusahaan adalah manfaat semua stakeholder.


Bab 6
Kewajiban Karyawan dan Peusahaan

Dalam bab ini kita mempelajari kewajiban pada dua pihak : karyawan dan perusahaan, Kita mulai dengan menyoroti kewajiban karyawan terhadap perusahaan. Lalu kita membalikakan prespektifnya dengan memfokuskan kewajiban perusahaan terhadap karyawan.

Tiga Kewajiban Karyawan yang penting

Ada tiga Kewajiban Karyawan yang penting terhadap perusahaan yaitu  : kewajiban      ketaatan , kewajiban kondensialitas , dan kewajiban loyalitas .

Dimana kewajiban ketaatan itu karyawan harus taat kepada atasannya di perusahaan ,Justru karena ia bekerja disitu, Namun demikian ,hal itu tidak berarti bahwa karyawan harus menaati semua perintah yang diberikan oleh atasannya .Pertama karyawan tidak perlu dan malah tidak boleh mematuhi perintah yang menyuruh dia melakukan sesuatu yang tidak bermoral .Atau jika pimpinan perusahaan menyuruh para karyawannya untuk melakukan penipuan ,hal itu pada prinsipnya tidak boleh mereka lakukan . Dalam suasana bisnis yang kurang sehat ,kita sering menyaksikan karyawan terlibat dalam praktek penipuan dari atasannya .Mungkin mereka terpaksa melakukan hal itu ,karena kalau menolak akan dipecat. Mungkin juga mereka ikut serta dengan segenap hati ,karena akan memperoleh sebagian dari keuntungannya .Tetapi dari segi etika sudah jelas mereka melibatkan diri dalam kegiatan yang tidak boleh dilakukan . Kedua karyawan tidak wajib juga mematuhi perintah yang tidak wajar ,bila kepala unit memerintahkan bawahannya untuk memperbaiki mobil pribadinya,merenovasi rumah pribadinya, dan sebagainya, karena itu kalau diberikan perintah yang tidak wajar atau tidak masuk akal seperti tadi ,lebih baik karyawan menolak melaksanakannya.

Kewajiban konfidensialitas yaitu adalah kewajiban untuk menyimpan informasi yang bersifat konfidensial – dan karma itu rahasia – yang telah diperoleh dengan menjalankan suatu profesi . Banyak profesi mempunyai satu kewajiban konffidensialitas khususnya profesi yang bertujuan membantu sesama manusia .Yang tertua adalah adalah profesi kedokteran . “ KONFIDENSIALITAS “ berasal dari kata latin confidere yang berarti “mempercayai “ .Kalau orang sakit berobat kedokter ,terpaksa ia harus menceritakan hal – hal yang tidak enak rasanya bila diketahui orang lain , seperti sebab penyakitnya , situasi keluarga, dan lain – lain . Informasi konfidensial itu disampaikan atas dasar kepercayaan ,dalam arti bahwa dokter yang dipercayakan informasi tersebut tidak akan memberitahukannya kepada orang lain . begitu juga dengan contoh pada perusahaan farmasi ,umpanya melakukan banyak penelitian yang bertujuan mengembangkan obat baru.Jika akhirnya mereka berhasil menemukan obat baru , tentu mereka akan sangat dirugikan ,kalau hasil itu dibocorkan keprusahaan farmasi yang lain .Mereka ,menanamkan banyak modal dan waktu dalam program penelitian itu dan karenanya berhak juga untuk menikmati hasilnya .tentu saja ,obat baru itu akan dipatenkan guna melindungi hak milik intelektual mereka secara hokum .Tetapi sebelum paten ditentukan ,secara moral perusahaan sudah menjadi pemilik hasil penelitian itu dan setiap orang yang mencuri informasi itu bertingkah laku tidak etis

Alasan lain yang sebetulnya berhubungan erat dengan alasan pertama tadi adalah bahwa membuka rahasia perusahaan bertentangan dengan etika pasar bebas .Kewajiban konfidensialitas terutama penting dalam system ekonomi pasar bebas, dimana kompetisi merupakan unsur hararki. Memiliki informasi tertentu dapat mengubah posisi perusahaan satu terhadap perusahaan yang lain nya dengan drastis, sehingga membuka rahasia perusahaan akan sangat mengganggu kompetisi yang fair.

Kewajiban Loyalitas juga merupakan konsekuensi dari status seseorang sebagai karyawan perusahaan, Faktor utama yang bisa membahayakan terwujudnya loyalitas adalah konflik kepentingan ( conflict of interst ), artinya konflik kepentingan pribadi karyawan dan kepentingan perusahaan .Karyawan tidak boleh menjalankan kegiatan pribadi, yang bersaing dengan kegiatan perusahaan. Berdasarkan kontrak kerja atau setidak – tidaknya karena persetujuan implicit (kalau tidak ada kontrak resmi) karyawan wajib melakukan perbuatan – perbuatan tertentu demi kepentingan perusahaan


Melaporkan kesalahan Perusahaan

Dalam Literatur etika bisnis berbahasa inggris masalah ini dikenal sebagai whistle blowing (meniup pluit). Dalam bahasa inggris istilah ini sering dipergunakan dalam arti kiasan: Membuat keributan untuk menarik perhatian orang banyak. Dalm etika, Whistle blowing mendapat arti lebih khusus lagi: menarik perhatian dunia luar dengan melapor kesalahan yang dilakukan oleh sebuah organisasi

Karena bekerja pada suatu perusahaan, Seorang karyawan bisa mengetahui banyak hal mengenai perusahaan nya yang tidak diketahui oleh orang lain, bukan saja hal – hal yang bersifat rahasia (trade secrets), Tetapi juga praktek – praktek yang tidak etis Jika seseorang karyawan mengetahui terjadi hal – hal yang kurang etis dalam kegiatan perusahaan, apakah ia boleh membawa pengetahuan itu keluar ?itu masalah etika yang dimakssud disini

Pelaporan kesalahan perusahaan bisa dibenarkan secara moral apabila bila 5 syarat berikut ini terpenuhi:
  1. Kesalahan Perusahaan harus besar
  2. Pelaporan harus didukung oleh fakta yang jelas dan benar
  3. pelaporan harus dilakukan semata – mata untuk mencegah terjadinya kerugian bagi pihak ketiga , bukan karma motif lain
  4. penyelesaian masalah secara internal harus dilakukan dulu ,sebelum kesalahan perusahaan dibawa keluar
  5. harus ada kemungkinan real bahwa pelaporan kesalahan akan mencatat sukses




Kewajiban perusahaan terhadap karyawannya

-          Perusahaan tidak boleh mempraktekkan diskriminasi :
Sekitar tahun 1950-an masih banyak deskriminasi dipraktekkan, khususnya terhadap minoritas kulit hitam, keturunan dari budak – budak yang dulu didatangkan dari afrika untuk bekerja diperkebunan. Pada  waktu itu masih dinilai biasa saja, kalau sekolah atau perusahaan secara prinsipil menolak menerima orang kulit hitam

Deskriminasi dalam Kewajiban Perusahaan terbagi menjadi tiga yaitu :
  1. Deskriminasi dalam konteks perusahaan
  2. Argumentasi etika melawan deskriminasi
  3. Beberapa masalah terkait

Perusahaan harus menjamin kesehatan dan keselamatan kerja

  1. Beberapa aspek keselamatan kerja ( Keselamatan kerja bisa terwujud apabila     tempat kerja itu aman )
  2. Pertimbangan Etika ( Peraturan hukum yang ada dilatarbelakangi alasan – alasan etika dan kalau dalam suatu situasi tentu peraturan hukum belum cukup melindungi para pekerja )

Kewajiban menberi gaji yang adil

-          Menurut keadilan distributive ( gaji yang relatif rendah bisa mencukupi juga, asalkan kompensasi oleh jaminan sosial yang baik serta fasilitas lain – lain.
-          Enam faktor khusus dalam kewajiban memberi gaji pada karyawan (peraturan hukum, upah yang lazim dalam sektor industri tertentu atau daerah tertentu, kemampuan perusahaan, sifat khusus pekerja tertentu, perbandingan dengan upah / gaji lain dalam perusahaan, perundingan upah/ gaji yang fair )

Perusahaan Tidak boleh memberhentikan karyawan dengan semena – mena
Terutama ada 3 alasan mengapa perusahaan akan memberhentikan karyawan :
  1. Alasan internal perusahaan (restrukturasi, otomatisasi, merger dengan perusahaan lain)
  2. Alasan eksternal (Konyungtur, resesi ekonomi)
  3. Dan kesalahan karyawan

Menurut Garret dan klonoski, dengan lebih konkret kewajiban majikan dalam memberhentikan karyawan dapat dijabarkan dalam ketiga butir berikut ini :
  1. Majikan hanya boleh memberhentikan karena alasan yang tepat
  2. Majikan harus berpegang pada prosedur yang semestinya
  3. Majikan harus membatasi akibat negatif bagi karyawan sampai seminimal mungkin




BAB 7
MASALAH ETIS SEPUTAR KONSUMEN


Konsumen merupakan stakeholder yang sanagt hakiki dalam bisnis modern. Bisnis tidak mungkin berjalan, kalau tidak ada konsumen yang menggunakan produk / jasa yang dibuat dan ditawarkan oleh pebisnis. Dalam hal ini tentu tidak cukup, bila konsumen tampil satu kali saja pada saat bisnis dimulai. supaya bisnis berkesinambungan, perlulah konsumen yang secara teratur memakai serta membeli produk / jasa tersebut dan dengan demikian menjadi pelanggan .

the customer is king” sebenarnya tidak merupakan slogan saja yang dimaksud sebanyak mungkin pembeli. ungkapan ini menunjukkan tugas pokok bagi perodusen / penyedia jasa: mengupayakan kepuasan konsumen .

Pelanggan adalah raja dalam arti bahwa dialah yang harus dilayani dan dijadikan tujuan utama kegiatan produsen. Tidak mengherankan, kalau peter drucker , perintis teori manajemen, menggaris bawahi peranan sentral pelanggan atau konsumen dengan menandaskan bahwa maksud bisa didefinisikan secara tepat sebagai “too creat a customer”

Bahwa konsumen harus diperlakukan dengan baik secara moral, tidak saja merupakan tuntutan etis, melainkan juga syarat mutlak untuk mencapai keberhasilan dalam bisnis. Sebagaimana halnya dengan banyak topik etika bisnis lainnya, disini pun berlaku bahwa etika dalam praktek bisnis sejalan dengan kesuksesan bisnis. Perhatian untuk etika dalam hubungan dengan konsumen, harus dianggap hakiki demi kepentingan bisnis itu sendiri. Perhatian untuk segi etis dari relasi bisnis – konsumen itu mendesak, karena posisi konsumen sering kali agak lemah. Walaupun konsumen digelari raja, pada kenyataannya “kuasanya” sangat terbatas karena berbagai alasan. Dalam konteks modern si konsumen justru mudah dipermainkan dan dijadikan korban manipulasi produsen. Karena bisnis itu mempunyai kewakjiban moral untuk melindungi konsumen dan menghindari kerugian baginya.

Perhatian untuk konsumen

Secara spontan bisnis mulai dengan mencurahkan segala perhatiannya kepada produknya, bukan kepada konsumen . perkembangan itu juga terlihat dalam sejarah bisnis amerika serikat yang dari banyak segi menjadi perintis dalam bisnis modern . disitupun perhatian buat konsumen hal yang masih agak baru . selangkah penting dalam memutarkan fokus ke arah konsumen ditempuh oleh presiden John F. Kenedy. Pada tahun 1962 ia mengirim pada kongres amerika yang disebut special message on protecting the consumer interest, dimana ia mendapatkan 4 hak yang dimiliki setiap konsumen. Maka dari itu ada baiknya kita mempertimbangkan 4 hak ini secara rinci.
  1. Hak atas keamanan
Banyak produk mengandung resiko tertentu untuk konsumen, khususnya resiko untuk kesehatan dan keselamatan. Sebagai contoh dapat disebut pestisida, obat obatan. makanan, mainan anak, kendaraan bermotor dan alat kerja. Konsumen berhak atas produk yang aman, artinya produk yang tidak mempunyai kesalahan teknik atau kesalahan lainnya yang bisa merugikan kesehatan atau bahkan membahayakan kehidupan konsumen. Bila sebuah produk karena hakikatnya selalu mengandung resiko, contohnya gergaji listrik: resiko itu harus dibatasi sampai tingkat seminimal mungkin.
  1. Hak atas informasi
Konsumen berhak memperoleh informasi yang relevan mengenai produk yang dibelinya, baik apa sesungguhnya produk itu ( bahan bakunya, umpamanya ), maupun bagaimana cara memakainya, maupun juga resiko dari pemakaiannya. Hak ini meliputi segala aspek pemasaran dan periklanan. Semua informasi yang disebut pada label produk tersebut haruslah benar: isinya, beratnya, tanggal kadaluwarsanya, ciri – ciri khusus dan sebagainya. Informasi yang relevan seperti “makanan ini halal untuk umat islam “atau” makanan ini tidak mengandung kolestrol” harus sesuai kebenaran.
  1. Hak untuk memilih
Dalam sistem ekonomi pasar bebas, dimana kompetisi merupakan unsur hakiki, konsumen berhak untuk memilih antara berbagai produk / jasa yang ditawarkan. Kualitas dan harga produk bisa berbeda. Konsumen berhak membandingkannya sebelum mengambil keputusan untuk membeli.
  1. Hak untuk didengarkan
Karena konsumen adalah orang menggunakan produk / jasa, ia berhak bahwa keinginannya tentang produk / jasa itu didengarkan dan dipertimbangkan, terutama keluhannya. Hal itu juga berarti bahwa para konsumen harus dikonsultasikan, jika pemerintah ingin membuat peraturan atau undang – undang yang menyangkut produk / jasa tersebut. Hak – hak konsumen ini tentu tidak boleh dimengerti sebagai hak dalam arti sempit. Hak – hak ini tidak merupakan hak legal yang dapat dituntut di pengadilan, umpamanya. lebih baik hak - hak konsumen dipahami sebagai cita – cita atau tujuan yang harus direalisasikan dalam masyarakat.
  1. Hak konsumen atas pendidikan
Melalui produk yang digunakannya, konsumen memanfaatkan sumber daya alam. Ia berhak bahwa produk dibikin sedemikian rupa, sehingga tidak mengakibatkan pencemaran lingkungan atau merugikan keberlanjutan proses – proses alam.
  1. Hak konsumen atas pendidikan
Tidak cukup, bila konsumen mempunyai hak, ia juga harus menyadari hak nya. Bahkan menyadari hak saja belum cukup, karena konsumen harus mengemukakan kritik atau keluhannya, apabila haknya dilanggar. Karena itu konsumen mempunyai hak juga untuk secara positif dididik ke arah itu. Terutama melalui sekolah dan media massa, masyarakat juga harus dipersiapkan menjadi konsumen yang kritis dan sadar akan haknya. Dengan itu ia sanggup memberikan sumbangan yang berarti kepada mutu kehidupan ekonomi dan mutu bisnis pada umumnya.

Kini dinegara maju gerakan konsumen merupakan faktor yang harus diperhitungkan dalam duinia bisnis. Seperti banyak hal lain dalam bidang ekonomi dan bisnis, gerakan konsumen pun berkembang dia amerika serikat. Sejak kira – kira tahun 1950-an konsumen mulai memperdengarkan suaranya.

Kita di indonesia bisa belajar dari gerakan konsumen di amerika serikat dan negara maju lainnya. Sejauh ekonomi kita sudah tumbuh dan daya beli masyarakat semakin tinggi, peranan gerakan konsumen harus semakin bertambah pula. Undang – undang tentang perlindungan konsumen (1999) yang disebut diatas merupakan selangkah maju yang menggembirakan. Pemerintah sepatutnya mendukung terus gerakan konsumen itu, tapi inisiatif dan pelaksanaan mestinya berasal dari konsumen sendiri yang mengorganisasikan dirinya dalam bentuk lembaga swadaya masyarakat.

Tanggung jawab bisnis untuk menyediakan produk yang aman

Disini produsen harus menjamin bahwa produknya pada saat pembelian dalam keadaan prima sehingga biasa dipakai dengan aman. Jadi, terhadap suatu produk yang baru dibeli dan dipakai, produsen maupun konsumen masing – masing mempunyai tanggung jawab.

Untuk mendasarkan tanggung jawab produsen, telah dikemukakan 3 teori yang mendukung nuansa yang berbeda: teori kontrak, teori perhatian semestinya dan teori biaya sosial.
  1. Teori kontrak
Pandangan kontrak ini sejalan dengan pepatah romawi kuno yang berbunyi caveat emptor “hendaknya si pembeli behati – hati”. Sebagaimana sebelum menandatangani sebuah kontrak, kita harus membaca dengan teliti seluruh teksnya termasuk huruf – huruf terkecil sekalipun, demikian si pembeli dengan hati – hati harus mempelajari keadaan produk serta ciri – cirinya. Sebelum dengan membayar ia menjadi pemiliknya. Transaksi jual beli harus dijalankan sesuai dengan apa yang tertera dalam kontrak itu dan hak pembeli maupun kewajiban penjual memperoleh dasarnya dari situ.

Tetapi tudak bisa dikatakan juga bahwa hubungan produsen – konsumen, selalu dan seluruhnya berlangsung dalam kerangka kontrak. Karena itu pandangan kontrak dari beberapa segi tidak memuaskan juga terutama ada 3 keberatan berikut terhadap pandangan ini.
  1. Teori kontrak mengandalkan bahwa produsen dan konsumen berada pada taraf yang sama. Tetapi pada kenyataannya tidak terdapat persamaan antara produsen – konsumen. Khususnya dalam konteks bisnis modern.
  2. Kritik kedua menegaskan bahwa teori kontrak mengandalkan hubungan langsung antara produsen dan konsumen. Padahal konsumen pada kenyataannya jarang sekali berhubungan langsung dengan produsen.
  3. Konsepsi kontrak tidak cukup untuk melindungi konsumen dengan baik. Kalau perlindungan terhadap konsumen hanya tergantung pada ketentuan dalam kontrak maka bisa terjadi juga bahwa konsumen terlanjur menyetujui kontrak jual beli. Padahal disitu tidak terjamin bahwa produk bisa diandalkan, akan berumur lama, akan bersifat aman dan sebagainya. Bila konsumen dengan “bebas” mengadakan kontrak jual beli hal itu belum berarti juga bahwa perlindungan konsumen terlaksana.
  1. Teri perhatian semetinya
Pandangan “perhatian semestinya” ini tidak memfokuskan kontrak atau persetujuan antara konsumen dan produsen, melainkan terutama kualitas produk serta tanggung jawab produsen. Karena itu tekanannya bukan dari segi hukum saja, melainkan dalam etika dalam arti luas. Norma dasar yang melandasi pandangan ini adalah bahwa seseorang tidak boleh merugikan orang lain dengan kegiatannya.
  1. Teori biaya sosial
Teori biaya sosial merupakan versi yang paling ekstrim dari semboyan caveat venditor . walaupun teori ini paling menguntungkan bagi konsumen, rupanya sulit juga mempertahankan. Kritik yang dikemukakan dalam teori ini, bisa disingkatkan sebagai berikut: teori biaya soaial tampaknya kurang adil, karena menganggap orang bertanggung jawab atas hal – hal yang tidak diketahui atau tidak dihindarkan. Menurut keadaan kompensatoris orang yang bertanggung jawab atas akibat perbuatan yang diketahui dapat terjadi dan bisa dicegah olehnya.

Tanggung jawab bisnis lainnya terhadap konsumen

Selain harus menjamin keamanan produk, bisnis juga mempunyai kewajiban lain terhadap konsumen. Disini kita menyoroti tiga kewajiban moral lain yang masing – masing berkaitan dengan kualitas produk, harganya, dan pemberian label serta pengemasan.
  1. Kualitas produk
Dengan kualitas produk, disini dimaksudkan bahwa produk sesuai dengan apa yang dijanjikan produsen dan apa yang secara wajar boleh diharapkan konsumen. Konsumen berhak atas produk yang berkualitas, karena ia membayar untuk itu. Dan bisnis berkewajiban untuk menyampaikan produk yang berkualitas, misalknya produk yang tidak kadaluwarsa (bila ada batas waktu seperti obat obatan atau makanan).
  1. harga
Harga merupakan buah hasil perhitungan faktor – faktor seperti biaya produksi, biaya investasi, promosi, pajak, ditambah tentu laba yang wajar. Dalam sistem ekonomi pasar bebas , sepintas lalu rupanya harga yang adil adalah hasil akhir dari perkembangan daya pasar. Kesan spontan adalah bahwa harga yang adil dihasilkan oleh tawar menawar sebagaimana dilakukan dipasar tradisional, dimana si pembeli sampai pada maksimum harga yang mau ia bayar dan si penjual sampai pada minimum harga yang mau dipasang . transaksi itu terjadi bila maksimum dan minimum itu bertemu.
  1. pengemasan dan pemberiaan label
Pengemasan dan label dapat menimbulkan masalah etis. Dalam konteks ini tuntutan etis yang pertama ialah bahwa informasi yang disebut pada kemasan itu benar. Informasi yang kurang benar atau tidak pasti bukan saja merugikan konsumen tetapi pihak lain juga. Disini contoh yang jelas ialah diskusi beberapa tahun lalu di amerika serikat tentang kemungkinan kelapa sawit bisa meningkatkan kadar kolestrol dalam darah. Kalau hal itu disampaikan sebagai informasi yang benar, sedangkan pada kenyataannya belum terbukti, negara kelapa sawit sangat dirugikan dan penyiaran informasi itu merupakan cara berbisnis yang tidak fair.
kesimpulan
Masalah etis menjadi lebih berat lagi, karena dalam hal ini konsumen sendiri tidak berdaya. Pada umumnya boleh dikatakan, konsumen sendiri juga mempunyai tranggung jawab. Seperti sudah kita lihat sebelumnya, dari konsumen dapat diharapkan ia bersikap kritis dalam menilai produk yang akan dibeli dan dikonsumsi itulah kebenaran yang terkandung dalam pepatah kuno caveat emptor (hendaknya si pembeli berhati – hati).



Bab 8
PERIKLANAN DAN ETIKA

          Periklanan atau reklame adalah bagian tak terpisahkan dari bisnis modern, Iklan justru dianggap cara ampuh untuk menonjol dalam persaingan, Dalam perkembangan periklanan, media komunikasi modern – media cetak maupun elektronis, tapi khususnya televisi memegang peranan yang dominan. Fenomena periklanan ini menimbulkan peranan yang cukup dominan dari masa yang berbeda.

      
          Perhatian besar akan diberikan kepada dua topik pada etika yang minta analisis dan penjelasan khusus tentang periklanan dan etika yaitu dua persoalan etis ini sering kali terkait, tetapi harus dibicarakan tersendiri, yang pertama menyangkut kebenaran dalam iklan. Mengatakan yang benar merupakan salah satu kewajiban etis yang penting. Rupanya dalam iklan kewajiban ini kerap kali tidak di gubris, Persoalan etis yang kedua (tapi tidak terlepas yang pertama tadi) adalah manipulasi publik yang menurut banyak pengamat berulang kali dilakukan melalui upaya periklanan padahal, menghormati otonomi manusia merupakan suatu prinsip etis yang mendasar.


FUNGSI PERIKLANAN
       
         Seperti sudah yang diisyaratkan tadi, dunia bisnis sendiri sering berbicara tentang periklanan seolah - olah fungsinya yang utama adalah menyediakan informasi, Sedangkan dalam dunia konsumen (khususnya mereka yang lebih kritis) periklanan terutama dilihat sebuah usaha promosi.

         Iklan tentang produk yang ada banyak merknya akan mempunyai unsure persuasive yang lebih menonjol, seperti iklan tentang pakaian, makanan, rumah. Iklan seperti itu justru berusaha bersaing dengan produk lain.

         Tercampurnya unsur informatif dan unsur persuasif dalam periklanan membuat penilaian, etis terhadapnya menjadi lebih kompleks, seandainya iklan semata – mata informatif atau semata – mata persuasif, Tugas etika disini bisa menjadi lebih muda

Manipulasi dengan periklanan

Masalah kebenaran terutama berkaitan dengan segi informative dari iklan (tapi tidak secara eksklusif), sedangkan masalah manipulasi terutama berkaitan dengan segi persuasive dari iklan (tapi tidak terlepas juga dari segi informatifnya). Dengan “manipulasi” kita maksudkan: mempengaruhi kemauan orang lain sedemikian rupa, sehingga ia menghendaki atau menginginkan sesuatu yang sebenarnya tidak dipilih oleh orang itu sendiri.

Pengontrolan terhadap iklan

Karena kemungkinan dipermainkannya kebenaran dan terjadinya manipulasi merupakan hal-hal rawan dalam bisnis periklanan, perlulah adanya control tepat yang dapat mengimbangi kerawanan tersebut. Ada tiga cara pengontrolan, antara lain:
1.      Kontrol oleh pemerintah
Disini terletak suatu tugas penting bagi pemerintah yang harus melindungi masyarakat konsumen terhadap keganasan periklanan. Di Amerika Serikat ada komisi yang mengawasi yaitu Food and Drug Administration dan Federal Trade Commission. Di Indonesia iklan tentang makanan dan obat diawasi oleh Direktorat jenderal Pengawasan Obat dan Makanan (POM) dari Departemen Kesehatan.
2.      Kontrol oleh para pengiklan
Cara paling ampuh untuk menanggulangi masalah etis tentang periklanan adalah pengaturan diri (self-regulation) oleh dunia periklanan. Biasanya hal itu dilakukan dengan menyusun sebuah kode etik, sejumlah norma dan pedoman yang disetujui oleh profesi periklanan itu sendiri, khususnya oleh asosiasi biro-biro periklanan.
3.      Kontrol oleh masyarakat
Masyarakat luas tentu harus diikutsertakan dalam mengawasi mutu etis periklanan. Dalam hal ini suatu cara yang terbukti membawa banyak hasil dalam menetralisasi efek-efek negatif dari periklanan adalah mendukung dan menggalakkan lembaga-lembaga konsumen.

Peniliaian etis terhadap iklan

Refleksi tentang etika periklanan ini mengingatkan kita bahwa penalaran moral selalu harus bernuansa dengan menyimak dan menilai situasi konkret. Prinsip – prinsip etis yang penting dalam konteks periklanan sudah dipelajari sebelumnya (tidak boleh berbohong, otonomi manusia harus dihormati). Dalam pasal terakhir ini kita memandang 4 faktor berikut yang harus dipertimbangkan dalam menerapkan prinsip – prinsip tersebut, jika kita ingin membentuk penilaian etis yang seimbang tentang iklan: maksud si pengiklan, isi iklan, keadaan publik yang tertuju dan kebiasaan dibidang iklan.

  1. Maksud si pengiklan
Apa yang dimaksud si pengiklan??? jika maksud si pengiklan tidak baik, dengan sendirinya moralitas iklan itu menjadi tidak baik juga. Jika si pengiklan tahu bahwa produk yang di iklankan merugikan konsumen atau dengan sengaja ia menjelekkan produk dari pesaing, iklan menjadi tidak etis.
  1. Isi iklan
Menurut isinya iklan harus benar dan tidak boleh mengandung unsur yang menyesatkan. Iklan tentang hal yang tidak bermoral, dengan sendirinya menjadi tidak etis.
  1. Keadaan publik yang tertuju
Yang dimengeti disini dengan publik adalah orang dewasa yang normal dan mempunyai informasi yang cukup tentang produk atau jasa yang di iklan kan. Dalam setiap masyarakat terdapat orang naif, tetapi janganlah mereka diambil sebagai patokan untuk menilai moralitas iklan. Namun demikian perlu diakui bahwa mutu publik sebagai keseluruhan bisa sangat berbeda. Dalam masyarakat dimana taraf pendidikan rendah dan terdapat banyak orang sederhana yang mudah tertipu. Tentu harus dipakai standart lebih ketat daripada dalam masyarakat dimana mutu pendidikan rata – rata lebih tinggi atau standar ekonomi lebih maju.
  1. Kebiasaan dibidang periklanan
Periklanan selalu dipraktekkan dalam rangka suatu tradisi. Dalam tradisi itu orang sudah biasa dengan cara tertentu disajikan iklan. Sudah ada aturan main yang disepakati secara empiris dan yang sering tidak dapat dipisahkan dari etos yang menandai masyarakat itu. seperti halnya juga dibidang – bidang lain, tradisi itu menentukan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan.

Artikel UTS Etika Bisnis

MEMBANGUN DAN MENGEMBANGKAN ETIKA BISNIS DALAM PERUSAHAAN


Top of Form
Ditulis oleh Setyanto P. Santosa   
Senin, 13 Agustus 2007
(Disampaikan  pada acara  Seminar Nasional Audit Internal  YPIA, Yogyakarta, 12 – 13 April 2006)

.... being ethically literate is not just about giving large sums of money  for charity.  It is about recognizing and acting on potential ethical
issues  before they become legal problem  ( Berenheim).


Kalimat pembuka  yang disampaikan oleh Ronald E. Berenheim dari New York University (2001) tampaknya sangat relevan  dengan topik kita saat ini. Karena semenjak terjadinya kasus  Enron (2001) dan Worldcom (2002) perhatian perusahaan-perusahaan besar kelas dunia terhadap upaya melakukan revitalisasi penerapan etika bisnis dalam perusahaan makin berkembang. Hal ini terutama didesak oleh kepentingan para pemegang saham agar Direksi lebih mendasarkan pengelolaan perusahaan pada etika bisnis, karena pemegang saham tidak ingin kehancuran yang terjadi pada Enron  dan Worldcom terulang  pada perusahaan mereka. Demikian pula  stakeholders (pemangku kepentingan) lainnya pun tidak ingin tertipu dan ditipu oleh pengelola perusahaan. Walaupun sebelumnya telah diperingatkan pula dengan kasus  Baring dengan aktornya Nicholas Leeson (1995).



Di Indonesia tampaknya masalah penerapan etika perusahaan yang lebih intensif masih belum dilakukan dan digerakan secara nyata. Pada umumnya baru sampai tahap pernyataan-pernyaaatn atau sekedar  “lips-service” belaka.  Karena memang enforcement dari pemerintah pun belum tampak secara jelas.

Sesungguhnya Indonesia harus lebih awal menggerakan penerapan etika bisnis secara intensif terutama setelah tragedi krisis ekonomi tahun 1998. Sayangnya bangsa ini mudah lupa dan mudah pula memberikan maaf kepada  suatu kesalahan yang menyebabkan bencana nasional sehingga penyebab krisis tidak diselesaikan secara tuntas dan tidak berdasarkan suatu pola yang mendasar. Sesungguhnya penyebab utama krisis ini, dari sisi korporasi,  adalah tidak berfungsinya  praktek etika bisnis secara benar, konsisten dan konsekwen. Demikian pula penyebab terjadinya kasus Pertamina tahun (1975), Bank Duta (1990)  adalah serupa.

 Praktek penerapan etika bisnis yang paling sering kita jumpai pada umunya diwujudkan dalam bentuk buku saku “code of conducts” atau kode etik dimasing-masing perusahaan. Hal ini barulah merupakan tahap awal dari praktek etika bisnis yakni mengkodifikasi-kan  nilai-nilai yang terkandung dalam etika bisnis  bersama-sama corporate-culture  atau budaya perusahaan, kedalam suatu bentuk pernyataan tertulis dari perusahaan untuk dilakukan dan tidak dilakukan oleh manajemen dan karyawan dalam melakukan kegiatan bisnis.

Secara sederhana yang dimaksud dengan etika bisnis adalah  cara-cara untuk melakukan kegiatan bisnis, yang mencakup seluruh aspek yang berkaitan dengan  individu,  perusahaan, industri dan juga masyarakat. Kesemuanya ini mencakup  bagaimana kita menjalankan bisnis secara adil (fairness), sesuai dengan hukum yang berlaku (legal)  tidak tergantung pada kedudukani individu ataupun perusahaan di masyarakat.

Etika bisnis lebih luas dari ketentuan yang diatur oleh hukum, bahkan merupakan standar yang lebih tinggi dibandingkan standar minimal ketentuan hukum, karena dalam kegiatan  bisnis seringkali kita temukan “grey-area” yang tidak diatur oleh ketentuan hukum.

Menurut Von der Embse dan R.A. Wagley dalam artikelnya di Advance Managemen Jouurnal (1988) yang berjudul Managerial Ethics Hard Decisions on Soft Criteria, membedakan antara ethics, morality dan law sebagai berikut :
  • •    Ethics is defined as the consensually accepted standards of behavior for an occupation, trade and profession
  • •    Morality  is the precepts of personal behavior based on religious or philosophical grounds
  • •    Law  refers to formal codes that permit or forbid  certain behaviors and may or may not enforce ethics or morality.
Berdasarkan pengertian tersebut, terdapat  tiga pendekatan dasar dalam merumuskan tingkah laku etika kita :
  1. Utilitarian Approach : setiap tindakan harus didasarkan pada konsekuensi nya. Oleh karena itu dalam bertindak seseorang  seharusnya mengikuti  cara-cara yang dapat memberi manfaat sebesar-besarnya kepada masyarakat, dengan cara yang tidak membahayakan dan dengan biaya serendah-rendahnya. 
  2. Individual Rights Approach : setiap orang dalam tindakan dan kelakuan nya memiliki hak dasar  yang harus dihormati. Namun tindakan ataupun tingkah laku tersebut harus dihindari apabila diperkirakan akan  menyebabkan terjadi benturan dengan hak  orang lain. 
  3. Justice Approach : para pembuat keputusan mempunyai kedudukan yang sama, dan bertindak adil dalam memberikan pelayanan kepada  pelanggan baik secara perseorangan ataupun secara kelompok.
Dari pengelompokan tersebut Cavanagh (1990) memberikan cara menjawab permasalahan etika dengan merangkum dalam 3 bentuk pertanyaan sederhana yakni :
  • •     Utility : Does it optimize the satisfactions of all stakeholders ?
  • •     Rights : Does it respect the rights of the individuals involved ?
  • •     Justice : Is it consistent with the canons oif justice ?

Mengapa etika bisnis dalam perusahaan terasa sangat penting saat ini?  Karena untuk membentuk suatu perusahaan yang kokoh dan memiliki daya saing yang tinggi  serta mempunyai kemampuan menciptakan nilai (value-creation) yang tinggi, diperlukan suatu landasan yang kokoh. Biasanya dimulai dari perencanaan strategis , organisasi yang baik, sistem prosedur yang transparan didukung oleh budaya perusahaan yang andal serta etika perusahaan yang dilaksanakan secara konsisten dan konsekwen.
Contoh kasus Enron yang selain menhancurkan dirinya telah  pula menghancurkan Kantor Akuntan Publik Arthur Andersen yang memiliki reputasi internasional, dan telah dibangun lebih dari 80 tahun, menunjukan bahwa penyebab utamanya adalah praktek etika perusahaan tidak dilaksanakan dengan baik dan tentunya karena lemahnya  kepemimpinan  para pengelolanya. Dari pengalaman berbagai kegagalan tersebut, kita harus makin waspada dan tidak terpana oleh  cahaya dan kilatan suatu perusahaan hanya semata-mata dari penampilan saja, karena berkilat belum tentu emas.

Haruslah diyakini bahwa pada dasarnya praktek etika perusahaan akan selalu menguntungkan perusahaan baik untuk jangka menengah maupun jangka panjang karena :
  • •       Akan dapat mengurangi biaya akibat dicegahnya kemungkinan terjadinya friksi baik intern perusahaan maupun dengan eksternal.
  • •      Akan dapat meningkatkan motivasi pekerja.
  • •      Akan melindungi prinsip kebebasan ber-niaga
  • •      Akan meningkatkan keunggulan bersaing.

Tindakan yang tidak etis, bagi perusahaan akan memancing  tindakan balasan dari konsumen dan masyarakat dan akan sangat kontra produktif, misalnya melalui gerakan pemboikotan, larangan beredar, larangan beroperasi. Hal ini akan dapat menurunkan nilai penjualan maupun nilai perusahaan. Sedangkan  perusahaan yang menjunjung tinggi nilai-nilai etika pada umumnya perusahaan yang memiliki peringkat kepuasan bekerja yang tinggi pula, terutama apabila perusahaan tidak mentolerir tindakan yany tidak etis misalnya diskriminasi dalam sistem remunerasi atau jenjang karier. Karyawan yang berkualitas adalah aset yang paling berharga bagi perusahaan oleh karena itu semaksimal mungkin harus tetap dipertahankan.
Untuk memudahkan penerapan etika perusahaan dalam kegiatan sehari-hari maka nilai-nilai yang terkandung dalam etika bisnis harus  dituangkan kedalam manajemen korporasi yakni  dengan cara :
  • •    Menuangkan etika bisnis dalam suatu kode etik (code of conduct)
  • •    Memperkuat sistem pengawasan 
  • •    Menyelenggarakan pelatihan (training) untuk karyawan secara terus menerus.
Ketentuan tersebut seharusnya  diwajibkan untuk dilaksanakan, minimal oleh para pemegang saham, sebagaimana dilakukan oleh perusahaan yang tercatat di NYSE ( antara lain PT. TELKOM dan PT. INDOSAT) dimana diwajibkan untuk membuat berbagai peraturan perusahaan yang sangat ketat sesuai dengan ketentuan dari Sarbannes Oxley yang diterbitkan dengan maksud untuk mencegah  terulangnya kasus Enron dan Worldcom.
Kesemuanya itu adalah dari segi korporasi, bagaimana penerapan untuk individu dalam korporasi tersebut ? Anjuran dari filosuf Immanual Kant yang dikenal dengan Golden Rule bisa sebagai jawabannya, yakni :
  • •    Treat others as you would like them to treat you
  • •    An action is morally wrong for a person if that person uses others, merely as means for advancing his own interests.

Apakah untuk masa depan etika perusahaan ini masih diperlukan ?  Bennis, Spreitzer dan Cummings (2001) menjawab “ Young leaders place great value on ethics. Ethical behavior was identified as a key characteristic of the leader of the future and was thought to be sorely lacking in current leaders.”
Dan kasus Enron pun merupakan pukulan berat bagi sekolah-sekolah bisnis  karena ternyata etika belum masuk dalam kurikulum misalnya di Harvard Business School. Sebelumnya mahasiswa hanya beranggapan  bahwa “ethics as being about not getting caught rather than how to do the right thing in the first place”.

Yogyakarta, 13 April 2006



DAFTAR  PUSTAKA
1.    Bennis Warren, Spreitzer Gretchen M, Cummings Thomas, The Future of    Leadership, Jossey-Bass, San Fransisco (2001).
2.    Berenheim Ronald, The Enron Ethics Breakdown, The Conference Board Inc., New York (2001).
3.    Cavanagh, G.F. , American Business Values, 3rd Edition, Prentice Hall, New Jersey ( 1990).
4.    Fusaro Peter C., and Miller Ross M., What Went Wrong at Enron, John Willey & Sons, New Jersey, 2002.
5.    Von der Embse and Wagley R.A.., Managerial Ethics Hard Decisions on Soft Criteria, SAM Advanced Management Journal (1994).
6.    Zhang Peter G., Baring Bankruptcy and Financial Derivatives, World Scientific, Singapore (1995)




Nama                    : Ima Ismilia Ratna Putri
Nim                        : 01108039
Reguler                  : Sore ( B )
 Pendapat  saya tentang artikel di atas bahwa krisis ekonomi yang ada di Indonesia bahwa  Praktek penerapan etika bisnis yang paling sering kita jumpai pada umunya diwujudkan dalam bentuk buku saku “code of conducts” atau kode etik dimasing-masing perusahaan.sehingga pernyataan tertulis dari perusahaan untuk dilakukan dan tidak dilakukan oleh manajemen dan karyawan dalam melakukan kegiatan bisnis.







     
 

Popular Posts

About Me

Foto saya
i'm a nice girl with cute smile .i have a good taste,to improve my hoby i have my bisnis souvenir collection "Boneka Flanel" please click on my blogg to order,okay guys